22 Februari 2006 aku pindah ke Parang Tambung. Aku diperkenankan oleh Ketua Jurusan (Bapak Drs. Muhammad Arsyad, MT) dan Kepala Lab. Fisika (Bapak Drs. Aslim, M.Si) untuk tinggal di Lab. Setelah Pergi Pulang kampus Parang Tambung – Mandai, Maros selama satu setengah semester sambil bekerja di warung Sop Saudara, akhirnya aku bisa agak fokus ke kuliah dengan tinggal di Lab.
Namun, aku mulai tersadar. Jika selama ini aku ga pusing soal makanan, maka mulai saat itu aku harus berjuang sendiri. Om yang menjadi sandaran selama ini di Mandai, terlalu jauh. Di sisi lain, aku ga berharap pada Orang tua di kampung halaman. Aku tahu, Ayahku tidak terlalu mendukungku untuk kuliah apalagi untuk berharap kiriman darinya. Ibuku? Untuk biaya hidupnya bersama Nenek hanya berharap pada uang Janda Veteran. Tapi untunglah, aku diserahi untuk mengelolah mesin Photo Copy Lab.
Bulan April, Iccha menyusul tinggal di dalam Lab. Dia tinggal di Ruang Alat Lab Elka. Tugasnya membersihkan lantai II Lab. Tidak lama berselang, Idil menyusul setelah Kos-kosannya di Jl. Muhajirin I sudah selesai masa kontraknya. Tepatnya di akhir bulan Mei.
Kami bertiga sama-sama sadar bahwa uang bulanan tidak ada dalam kamus kehidupan kampus kami. Yang ada adalah usaha dari kerja kami. Sehingga di malam itu, bertempat di Ruang Alat Lab Elka kami bertiga kami kompak untuk berharap pada “Makanan gratis” di siang hari. Ya..kami hanya menyediakan makanan di malam hari. Siangnya, kami berharap kalau ada Dosen yang minta dibelikan makanan sehingga kami dapat jatah. Sehingga, kami tak jarang makan hanya sekali dalam sehari semalam.
**********
23 Oktober 2006 merupakan hari lebaran Idul Fitri. Aku berlebaran di Kampung halamanku. Berlebaran di tempat aku tumbuh dan dibesarkan oleh Ibunda dan Nenekku tercinta. Saat itu, aku juga disibukkan persiapan Pengukuhan organisasi pelajar dan mahasiswa yang Aku gagas bersama Muhammad Yusuf, Lukman, dan Hamzah yaitu Ikatan Pelajar Mahasiswa Mandar Katumbangan yang disingkat IPAMAKA. Rencananya, pengukuhan akan dilaksanakan bersamaan hari Sumpah Pemuda yaitu 28 Oktober 2006 tepatnya di Malam Minggu bertempat di Lapangan Sepakbola kebanggaan Desa Kami yang di sponsori oleh Bapak Lamang Ahmad, S.Ip.
Tiga hari berselang, yakni hari Jum’at aku baru sempat bersilaturrahmi ke rumah Ayahandaku. Aku berkunjung ke rumah sebelum tiba waktu shalat Jumat bersama Muhammad Yusuf.
Tok..tok..tok...
“Assalamu Alaikum” ucapku. Kemudian masuk ke dalam rumah.
Setelah memeriksa seluruh keadaan rumah. Ternyata gak ada orang di rumah. Aku putuskan menunggu kedatangan Ayah sambil menunggu waktu Shalat Jum’at.
Ga lama berselang, Ayahku datang sambil memikul baki yang berisi Mangga yang dibawanya dari kebun. Melihatnya datang, aku lalu menghampirinya.
“ Katanya sakit, kenapa pergi ambil mangga siang-siang gini? Hari Jum’at lagi...” tanyaku agak kesal.
Di akhir Bulan Ramadhan sebelumnya, aku mendengar sepupuku berkata bahwa Ayahku lagi sakit. Orang-orang menamainya penyakit Kuning.
“ Ga enak di rasa kalau di rumah saja. Mending ke kebun untuk memetik buah mangga, sambil cari keringat,” begitu katanya.
Beberapa saat kemudian, adzan berkumandang di Mushollah dekat rumah ayahku. Aku dan Muhammad Yusuf segera menuju Mushollah.
Dari shalat Jumat, aku kembali ke rumah ayahku. Setelah makan siang, aku mau pamitan.
“ Ayah, aku mau kembali ke Makassar hari minggu..........,” kataku
Belum sempat selesai aku berbicara, ayahku memotong,” Jadi kenapa? Aku ga punya uang. Kenapa selalu minta uang. Tiga Bulan yang lalu kamu juga minta.”
“Ayah, itukah tiga bulan yang lalu. Sudah lama. Jadi sudah habis.“
“ Pokoknya ga ada uang.”
Aku langsung pulang tampa pamit. Aku keluar dari rumah ayahku sambil membanting daun pintunya. Muhammad Yusuf pamitan dengan Ayahku, lalu menyusulku. Kami berdua kemudian menuju ke Wonomulyo untuk membeli perlengkapan Persiapan Pengukuhan IPAMAKA.
Di malam minggu, sesuai dengan rencana IPAMAKA resmi dikukuhkan oleh Kepala Desa Katumbangan Lemo yang diwakili oleh Sekretaris Desa. Acara yang dihadiri oleh para tokoh masyarakat, tokoh Agama, tokoh pemuda, warga masyarakat serta pelajar dan Mahasiswa dari dua Desa yaitu Desa Katumbangan Lemo dan Desa Katumbangan. Acara tersebut berjalan aman dan lancar.
Keesokan harinya, aku pun balik ke makassar. Aku balik tanpa menyempatkan diri untuk meminta maaf kepada ayahanda tentang kesalahan dua hari sebelumnya. Siapa tahu yang tahu tentang takdir? Ternyata takdir hanya menjadi rahasia Ilahi.
Tiga hari berselang tepatnya di hari Rabu tanggal 1 Nopember 2006, aku merasakan ada yang ganjal dengan diriku. Aku menjalani kegiatanku di kampus tidak seperti biasanya. Perasaanku was-was. Namun aku mencoba untuk menenangkan diri.
“ah.. mungkin hanya perasaanku saja,” kataku dalam hati mencoba menghibur diri sendiri.
Malam harinya aku menelpon Ibuku di kampung menggunakan Handphone Icca bermodalkan kartu perdana. Maklum, belum punya HP. barulah sepuluh hari kemudian, aku baru memilikinya sebuah HP bermerk MOTOROLA. Namun, informasi yang aku peroleh nihil. Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa.
Tiga hari setelah aku memiliki Handphone, barulah terjawab teka-teki tentang perasaanku selama ini. Ya.. 13 hari setelah pertama kali aku merasakan perasaanku yang ganjal itu.
Saat itu aku sedang mengetik di Ruang Pendidikan Lab. Fisika Lt 1. Waktu telah menunjukkan 17.55 di dalam komputer. Tiba-tiba Handphoneku berbunyi. Aku lalu mengangkatnya.
“Assalamu Alaikum,” Kata orang di ujung sana.
“Waalaikum Mussalam. Siapa ya?” tanyaku heran. Kenapa ada orang lain yang tahu nomorku. Setahuku cuma Icca dan Idil yang tahu nomorku.
“Kamu Aco?” balik tanya
“ ya....” Jawabku ” siapa ya?”
“ Ini Lui’,”
“Lui’ siapa?”
“Lui’ sepupumu.”
“oooo... darimana ambil nomorku?”
“Dari temanmu, Icca,”
“ oooo....apa kabar ini?”
“ Alhamdulillah baik-baik.. ohy apa kamu tahu kalau Ayah meninggal?”
“ Ayah siapa?”
“ Ayah.... Ayahmu..”
“Haaaaaaaaaaaaaaaaaa........” aku sangat kaget.
Aku diam seketika, di antara sadar dan tidak. Aku seperti bertanya dalam hatiku, apakah aku sedang bermimpi? Ataukah ini nyata adanya? Ini pasti mimpi.
“Kapan?” bertanya untuk lebih meyakinkan.
“ Empat belas harinya besok”
Aku lalu mencubit tanganku. Sakit. Nyata. Ini pasti benar adanya. Tak terasa air mataku menetes. Aku sudah tidak menghiraukan lagi dengan apa yang sedang aku ketik. Aku juga ga lagi memperhatikan suara sepupuku dari dalam HP-ku. Aku sangat sedih. Bagaimana tidak? Ayahku meninggal, tak menyaksikan jenazahnya dan tidak sempat meminta maaf atas ending pertemuan yang tidak baik. Hatiku betul-betul pilu.
Di dalam kesendirianku di Ruang Pendidikan aku hanya bisa menangis dalam hati sambil menetaskan air mata. Yang terlintas dalam pikiranku adalah pertemuan terakhirku sebelum kembali ke makassar. Bagaimana tidak? aku ga sempat untuk meminta maaf. Justru aku berbuat salah di akhir pertemuanku. Dua bulan Sejak saat itu, aku selalu bersedih sepulang dari shalat jumat. Aku selalu ingat bagaimana pertemuan terakhir dengan Ayahku sepulang dari shalat Jumat.
“Ya Allah... kenapa ya Allah??? Engkau menimpakan takdir yang seperti ini terhadapku? Begitu besarkah salah dan dosaku sehingga aku harus menghadapi takdir yang seperti ini?“ rintihku dalam hati.
Tidak lama berselang suara adzan terdengar dari Masjid Ulil Albab Kampus UNM Parang Tambung. Aku segera bergegas ke Masjid. Aku ingin mengadukan perasaanku ini kepada Sang Khalik. Mengapa Dia memberiku takdir yang seperti ini.
Sekembalinya dari Masjid, aku langsung naik ke LT III lab. Menemui Ka’ Saleh dan Ka’ Khaerul. Aku ingin minta izin untuk pulang kampung. Apalagi keesokan harinya, ada kegiatan praktikum yang mesti aku ikuti. Tiba di LT III, aku mengetuk pintu Ruang Lab. Semikonduktor dan Superkonduktor, tempat dimana Ka’ Khaerul tinggal.
Tok..tok..tok...
Ka’ Khaerul membuka pintu.
“ Masuk Chim..... “
Seperti biasa, Aku lalu masuk.
“ Ka’, aku mau pulang dulu,” kataku memulai.
Disaat aku mulai bicara aku terbawa perasaan. Perasaanku masih labil. hal ini menyebabkan terjadi perubahan pada raut wajahku.
“ Kamu kenapa Chim?” Tanya Ka’ Khaerul.
Aku ga kuat lagi menahan air mataku di depan Ka’ Khaerul. Aku berlari masuk di Ruang Praktek Semikonduktor. Di Ruang itu, aku berusaha menahan tangisku. Ka’ Khaerul lalu menyusulku masuk.
“ Ada apa Chim?”
“ Ka’, Ayahku meninggal.” Kataku dalam isak tangis
“ Kapan?”
“ Tiga belas hari yang lalu,”
“ Haaaa.... kenapa bisa? Maksudku, kenapa baru tahu sekarang?”
“ Sepupuku tadi menelpon.”
Aku lalu bercerita dari awal bagaimana aku baru tahu kalau ayahku meninggal. Ka’ Khaerul hanya bisa mendengar saja. Sambil sesekali menyela dan memberi semangat.
“Apa Ibumu tahu Soal ini?”
Aku lalu menghubungi nomor HP yang bisa dihubungi di Kampung. Setelah berbicara dengan Ibu, ternyata beliau juga tidak tahu. Ibuku justru kaget, bagaimana bisa aku lebih duluan tahu daripada dia. Padahal jarak antara rumah Ibu dengan rumah Ayahku berkisar 8 Km. Malam itu aku betul-betul aku ga bisa tidur. Yang terlintas dipikiranku hanyalah ayahku tercinta. Aku bersedih lebih-lebih kalau mengingat kembali pertemuan terakhirku dengannya.
Keesokan harinya barulah aku pulang. Tanpa sempat memberitahu teman-teman yang lain. Terutama teman-teman kelas (POLARISASI 04B), kecuali Icca dan Idil. Aku menelpon mereka berdua ketika di atas mobil pete-pete dalam perjalanan menuju Maros...
*********
Sumber : https://www.facebook.com/notes/achim-al/shalat-jumat-dan-hari-ke-13-perjuangan-itu-4/516301291720628
Mari berdoa kanda untuk bapak yang telah meninggalkan kita, karena doa anak sholeh adalah harapan orang tua yang telah tiada...
ReplyDeleteal fatihah untuk beliau...
ReplyDelete